Belakangan ini saya mulai menganggap banyak orang yang gagal dalam berpikir, termasuk saya yang tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang jelas-jelas berstatus sebagai tersangka justru dibela oleh para pengikutnya, hingga ayahnya yang notabene seorang pemuka agama yang pastinya mempunyai nama baik dan tersohor dilingkungan tempat tinggalnya Minggu ini saya dibuat tidak habis pikir hingga gagal berpikir oleh berita pencabulan yang dilakukan disekolah yang notabene berbasis agama. Gilanya, yang melakukan pencabulan adalah anak seorang pemuka agama yang mungkin disegani diwilayah tersebut. Bahkan ada video yang beredar dimana pemuka agama tersebut meminta kepada polisi yang datang agar anaknya tidak ditangkap (lha ??). Keterkejutan saya tidak hanya sampai dititik itu. Beberapa hari kemudian diberitakan kalau kepolisian sampai harus mengepung pondok pesantren selama beberapa jam untuk melakukan penjemputan kepada tersangka, bahkan ada polisi yang sampai harus disiram air pan...
Pernah liat
iklan di televisi yang bertemakan judul di atas ?? Iklan yang di tutup dengan
kalimat “mari wujudkan Indonesia
tanpa diskriminasi” . Kalimat pendek yang sebenarnya sangat sarat akan makna di
Negara yang majemuk ini. Ya, bukan nya apa, tapi di Negara yang (katanya)
Berbhineka Tunggal Ika ini, sikap diskriminatif kadang menjadi makanan sehari
hari bagi mereka yang dianggap berbeda dari yang lain.
Minimnya
perlindungan dan sulitnya mencari keadilan bagi mereka yang menjadi kaum
minoritas masih terasa kental disini. Cobalah buka internet dan lihatlah berapa
banyak kita bisa menemukan kasus gereja gereja yang di segel entah dengan
alasan yang bagi saya terkadang mengada ngada. Tak hanya itu, di dekat rumah
saya terdapat sebuah gereja Katolik, -yg sekaligus sekolah- yang beberapa bulan terakhir pernah di demo
oleh warga sekitar karena ada desas desus yang mengatakan aka nada pembangunan
gereja tersebut. Banyak spanduk liar yang bertuliskan MENOLAK pembangunan
gereja tsb, dengan alasan tidak sesuai dengan peruntukkan bangunan, atau mungkin
di anggap mengangangkangi SKB, merujuk pada pasal 14 aya 2 b yang berbunyi :
dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa;
Padahal dalam SKB tersebut jelas juga tertulis pasal 3 yang berbunyi :
Dalam hal persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan
huruf b belum terpenuhi, pemerintah
daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Namun apa lacur, aturan tinggal aturan, yang
dilihat secara tidak berimbang dan hanya melihat sebuah pasal tertentu tanpa
pasal lain yang seharusnya saling berkaitan. Tak hanya itu, kita juga mungkin
takkan pernah lupa bagaimana kasus penyerangan yang pernah terjadi pada jemaat
Ahmadiyah beberapa tahun silam yang berujung
pada jatuhnya korban, dan terjadi yang namanya pelanggaran HAM berat di sana.
Upaya para korban mencari keadilan juga seakan
menemui jalan terjal. Perlindungan pemerintah thd kaum minoritas masih sangat
lemah. Lihatlah ke Istana Negara tiap minggu. Jika beruntung kita bisa melihat
para jemaat dari sebuah Gereja yang Gereja nya di segel oleh Pemerintah kota, beribadah setiap 2
minggu sekali di depan Istana Negara u/ memprotes kepada Presiden perihal penutupan Gereja mereka. Adakah
tindakan dari orang no 1 di Indonesia
??
Atau mungkin yang terbaru, perihal Lurah Lenteng
Agung yang di tolak oleh mereka yang mengaku sebagai perwakilan dari warga
Lenteng Agung dengan alasan perbedaan kultur dan tidak sesuai dengan budaya di
sana, bahkan kabar terakhir menyebutkan Lurah Susan di tolak karena ia cantik
(WTF…!!! )
Mewujudkan Indonesia yang
tanpa diskriminasi sebenarnya bukan sebuah mimpi, toh masih banyak daerah
daerah di Indonesia
yang warganya bisa hidup berdampingan dengan berbagi perbedaan di dalamnya.
Hanya saja dalam hal ini butuh ketegasan serta peran serta dalam berbagai
pihak, Pemerintah daerah, pusat, hingga peran serta masyarakat.Sumber
Sumber gambar
Created by Hadi : 08-10-2013
Komentar
Posting Komentar