Belakangan ini saya mulai menganggap banyak orang yang gagal dalam berpikir, termasuk saya yang tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang jelas-jelas berstatus sebagai tersangka justru dibela oleh para pengikutnya, hingga ayahnya yang notabene seorang pemuka agama yang pastinya mempunyai nama baik dan tersohor dilingkungan tempat tinggalnya Minggu ini saya dibuat tidak habis pikir hingga gagal berpikir oleh berita pencabulan yang dilakukan disekolah yang notabene berbasis agama. Gilanya, yang melakukan pencabulan adalah anak seorang pemuka agama yang mungkin disegani diwilayah tersebut. Bahkan ada video yang beredar dimana pemuka agama tersebut meminta kepada polisi yang datang agar anaknya tidak ditangkap (lha ??). Keterkejutan saya tidak hanya sampai dititik itu. Beberapa hari kemudian diberitakan kalau kepolisian sampai harus mengepung pondok pesantren selama beberapa jam untuk melakukan penjemputan kepada tersangka, bahkan ada polisi yang sampai harus disiram air pan...
“Salahkan saya..” itu adalah kata kata yang
keluar dari mulut Alfred Riedl, pelatih timnas Indonesia kemarin dalam jumpa
pers seusai laga Indonesia VS Fillipina yang di menangkan oleh Fillipina dengan
skor telak 4-0. Laga yang sebenarnya cukup krusial bagi Indonesia yang butuh 3
angka untuk melaju ke babak berikutny, setelah pada laga pertama Indonesia
mampu bermain seri 2-2 melawan tuan rumah Vietnam.
Laga kemarin seakan membuka jelas borok timnas Indonesia yang
datang ke piala AFF dengan seadanya. Jadwal kompetisi yang amburadul membuat
Riedl sebagai pelatih harus sabar menunggu laga 2 laga uji coba terakhir untuk
mendapatkan seluruh pemain terbaik dari tanah air, padahal target yang di usung
adalah Juara Piala AFF 2014.
Pada bulan Oktober misalnya -yang notabene hanya
1 bulan jelang piala AFF 2014- para pemain masih berjibaku dengan klubnya
masing masing di Liga Indonesia, sementara pemusatan latihan berjalan dengan
pemain yang seadanya. Salah passing, hingga salah pengertian antar pemain dan
antar lini menjadi hal yang lumrah mengingat pemusatan latihan yang mepet,
kebersamaan dan kekompakan tim tak akan terasah hanya dalam waktu beberapa
minggu, sehingga Riedl di tuntut harus bisa memilih dengan cepat pemain yang
akan di pakainya dengan berbagai pertimbangan. Jadi jangan heran ketika kita
melihat nama nama macam Ferdinand Sinaga hingga Andik Vermansyah tidak di
boyong oleh Riedl.
Berkacalah
PSSI
Hastag #RiedlOut di dunia maya pun menjadi
pelengkap atas kekalahan memalukan Indonesia atas Fillipina, negara yang pernah
kita cukur 13-1 dalam turnamen yang sama tahun 2002 yang masih dinamakan Piala
Tiger. Riedl pelatih yang pernah membangkitkan semangat Nasionalisme pada Piala
AFF 2010 4 tahun lalu menjadi bully di dunia maya, hal yang sangat kontrs dengan
4 tahun lalu dimana ia di puja puji bak dewa.
Ingatlah, bahwa Riedl bukanlah obat penawar bagi
racun bernama kegagalan di timnas Indonesia. Seharusnya Federasilah
yang memegang peranan utama untuk pengembangan dan kemajuan prestasi sepak bola
di Indonesia.
PSSI sebagai Induk organisasi gagal total dalam membuat kompetisi berkualitas
yang tentunya akan menghasilkan pemain pemain yang mempunyai mental, kelakuan,
serta kualitas yang baik. Lihatlah bagaimana gol ke 3 Fillipina terjadi, di
mana para pemain Indonesia
justru sibuk protes thd kepemimpinan wasit, sementara permainan terus berjalan.
Hal yang mungkin menjadi kebiasaan di ISL, dimana ketika para pemain protes,
seolah permainan berhenti.
Kualitas wasit, hingga kualitas pelatih adalah
hal mendasar yang mungkin luput dari PSSI. Padahal wasit dan pelatih lah yang
manjadi elemen utama dalam sebuah kompetisi di mana para pemain akan di bentuk
secara mental dan karakter. Jika saja wasit dan pelatih di berhasil di
tingkatkan kualitasnya, mungkin saja kasus sepak bola gajah yang menjerat PSIS semarang dan PSS Sleman yang menampar sepak bola Indonesia saat
ini takkan terjadi. Selain itu keseriusan PSSI mengenai ‘klub Profesional’ pun
patut di pertanyakan. Toh, masih banyak klub klub yang sebetulnya tidak memenuhi
ke 5 aspek yang menjadi syarat mutlak yaitu legalitas, infrastruktur,
supporting,manajerial,dan financial yang di terus menerus di maklumi oleh PSSI
dengan berbagai alasannya.
Kerjasama
Semua Pihak
Sepak bola adalah olahraga yang mahal, hal yang
betul adanya hanya saja tidak bisa di maklumi terus menerus. Kondisi financial
yang buruk dari klub klub tak bisa lepas dari mahalnya gaji pemain, terutama
para pemain asing yang nilai kontraknya mencapai ratusan hingga milyaran
rupiah, sementara pemasukan bagi klub tak lebih dari penjualan tiket stadion. Bahkan
tak sedikit saya mendengar ada selentingan yang mengatakan banyak penonton yang
masuk ke stadion tanpa bayar.
Membenahi sepak bola Indonesia memang bukan hal yang
mudah, namun mungkin di lakukan jika ada kerjasama semua pihak, mulai dari
federasi,klub,hingga barisan supporter. Bayangkan jika semua penonton yang
hadir di stadion membayar tiket dengan harga yang seharusnya, dan bayangkan
pula jika semua jersey dan marchendise yang di pakai oleh para supporter
merupakan produk asli dan menjadi pemasukan resmi bagi klub. Bukan tak mungkin
klub klub akan secar perlahan namun pasti mampu memenuhi aspek financial mereka.
Kerusuhan dan permusuhan antar supporter juga
menjadi hal yang harus di minimalisir. Stadion haruslah menjadi tempat yang
menyenangkan dan nyaman bagi siapapun. Bagi mereka yang memang ingin menonton
aksi pemain dan klub kesukaan nya, bukan menjadi tempat yang horror di mana beberapa
penonton harus was was dengan kerusuhan dan keributan antar supporter,
fanatisme sempit yang masih menjadi momok hingga hari ini. Jika kerusuhan antar
supporter masih menjadi, maka bukan tak mungkin tak ada pihak yang mau menjadi
sponsor bagi klub atau pun sepak bola Indonesia. Toh, untuk menggulirkan
liga, PSSI tetap butuh sponsor kan
??
Jadi, patutnyalah kekalahan telak Indonesia
kemarin menjadi koreksi bagi semua pihak, federasi hingga para supporter yang
selalu meminta prestasi, namun minim kontribusi. Bukan terus menerus menunjuk
pelatih sebagai biang keladi kegagalan.
Komentar
Posting Komentar