Belakangan ini saya mulai menganggap banyak orang yang gagal dalam berpikir, termasuk saya yang tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang jelas-jelas berstatus sebagai tersangka justru dibela oleh para pengikutnya, hingga ayahnya yang notabene seorang pemuka agama yang pastinya mempunyai nama baik dan tersohor dilingkungan tempat tinggalnya Minggu ini saya dibuat tidak habis pikir hingga gagal berpikir oleh berita pencabulan yang dilakukan disekolah yang notabene berbasis agama. Gilanya, yang melakukan pencabulan adalah anak seorang pemuka agama yang mungkin disegani diwilayah tersebut. Bahkan ada video yang beredar dimana pemuka agama tersebut meminta kepada polisi yang datang agar anaknya tidak ditangkap (lha ??). Keterkejutan saya tidak hanya sampai dititik itu. Beberapa hari kemudian diberitakan kalau kepolisian sampai harus mengepung pondok pesantren selama beberapa jam untuk melakukan penjemputan kepada tersangka, bahkan ada polisi yang sampai harus disiram air pan...
Seattle, 24 Desember… Pagi pagi
sekali kesibukan mulai terlihat di gereja. Ya, berbagai persiapan menjelang
malam Natal
nanti malam membuat semua pengurus acara dan majelis gereja sudah terlihat di
gereja dengan bebagai kesibukan mereka masing masing. Mulai dari dekorasi,
hingga persiapan dan latihan paa pengisi acara yang akan mengisi di malam Natal nanti.
Sammy menggerutu kesal, ini
adalah bulan ke enamnya bekerja sebagai seorang pengurus gereja. Pekerjaan yang
tak segampang yang ia pikir dulu. Minimal ia harus bersabar meladeni berbagai
pertanyaan dan keinginan para jemaat gereja, yang kadang di matanya terlihat
lebih suka bicara di banding bertindak.
“Sam, belikan lampu..” “Sam, bisa tidak jika… “, “Sam, bisa
pindahkan .. “ “Sam, jangan lupa ya.. “ ya berbagai itulah perintah dari tiap
tiap jemaat gereja, kadang ia berpikir apa para jemaat itu tidak bisa
melakukannya sendiri ?? Ia memegang gagang pelnya, mengepel lantai gereja yang
sedari tadi basah akibat salju yang mencair yang menempel di sepatu orang orang
yang datang.
Di depannya terlihat beberapa remaja
yang berlalu lalang dengan berbagai barang bawaan mereka. Huff.., Sammy
menundukkan kepalanya, malu dan iri rasanya jika melihat mereka. Umur Samy
memang sepantaran dengan para remaja tesebut, Sammy terkadang iri jika melihat
mereka bepergian, berkumpul dan bercanda bersama, sebuah gaya hidup lama yang pernah melekat pada
dirinya. Dan pada kenyataan nya kini, ia
harus memegang gagang pel dan pontang panting menambal biaya hidup dan biaya
kuliahnya, tak jarang ia memaki karena hidupnya yang dianggapnya menyebalkan.
Itulah mengapa ia tak pernah ingin mengikuti ibadah remaja yang diadakan di
gereja ini. Ia terlalu malu dengan dirinya saat ini.
Sejak 2 tahun silam, Sammy harus
di biasakan hidup mandiri di sini. Kondisi keuangan keluarganya di Indonesia
yang sedang tidak baik, membuatnya harus memutar otak, bagaimana agar ia dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya disini. Ia beruntung, kuliahnya saat ini di biayai
oleh beasiswa yang berhasi di dapatkannya. Berbagai pekerjaan pernah ia jalani,
mulai dari pramusaji, tukang cuci piring, hingga saat ini sebagai pengurus
gereja. Pekerjaan yang diambilnya karena factor tempat tinggal, Ya, jika
menjadi pengurus gereja, setidaknya ia tak perlu pusing memikirkan di mana ia
harus tiggal dengan uang yang pas pasan.
Ia merapatkan baju dinginnya,
mengenakan sarung tangan, kemudian ia keluar mengambil sekop utuk membersihkan
tumpukan salju yang ada di depan gereja. Akan percuma jika ia mengepel di dalam
terus menerus tanpa membersihkan salju di depan yang membuatnya harus mengepel.
Sudah tiga tuhun ia di Seattle,
salju dan natal menjadi hal yang takkan terpisahkan.dan sejujurnya ia tak
pernah bermimpi menjadi pembersih salju, seperti yang saat ini tengah di
kerjakannya.
Srekk.. srekkk… Sammy mengangkat
kepalanya, di depannya terlihat seorang pria tua dengan mantel dgn gulungan
sweater di lehernya tengah berusaha menaiki tangga gereja, tangan kanannya
memegang erat pegangan tangga tersebut, berusaha keras mendorong tubuhnya ke
tiap atas anak tangga. Sammy bergerak cepat, ia menghampiri pria tersebut,
kemudian menjulurkan tangan kanannya kea rah pria tersebt.
“Terima kasih” ujar pria tua
terebut seraya memegang tangan kanan Sammy dengan tangan kirinya. Pria itu pun
kemudian berjalan masuk kea rah gereja, sambil di tuntun oleh Sammy di sebelah
kirinya. Sammy pun mengantar pria tersebut sampai ke kursi bagian tengah,
tepatnya di baris ke dua dari depan yang menghadap altar.
“Terima kasih nak.. “ ujar pria tua tersebut sambil duduk. Nafasnya
terlihat cukup terengah engah. Wajah tua nya terlihat letih setelah berjalan
menuju masuk ke gereja.
“Duduklah dulu, kau terlihat
lelah. “ Ujar pria tersebut. Sammy tersenyum, sejujurnya yang ia rasakan
bukanlah lelah, lebih tepatnya ia merasa dongkol. Baginya natal tahun ini
adalah gila, tidur pagi, bangun pagi, dan ia tak tahu apa yang akan menantinya
esok pagi.
“Itu cucu ku” ujar pria tua
seraya menunjuk salah seorang anak yang sedari tadi berlatih paduan suara di
panggung. Wajah pria tersebut terlihat gembira ketika meihat cucunya yang
sedang berlatih, rasa lelah yang ia rasakan seakan lansung hilang berganti
dengan senyum bahagia.
“Yang berponi itu ?? “ Ujar Sammy
sembari menunjuk ke arah gadis kecil berumur sekitar 6 tahun, bermata sipit
dengan rambut yang di kepang dua, ia sedang duduk di antara kerumunan anak anak
dan sedang berlatih paduan suara dengan cukup serius.
“Iya, ia cucu kebangaanku.. “ ujar pria tersebut pelan. Sammy tak berkata apapun,
ia hanya tersenyum mendengar perkataan pria tua tersebut. Sejujurnya ingin
rasanya ia meninggalkan pria tua ini sendirian, tak terbayang jika ia harus
mendengarkan curhat dan cerita cerita orang tua di sampingnya ini, mungkin
takkan habis seharian.
Latihan paduan suara anak pun
selesai, terlihat beberapa anak berhamburan dari depan panggung dan menghampiri
orang tua mereka masing masing. Namun cucu orang tu itu terlihat masih duduk,
tangannya terlihat mencoba meraih sesuatu di balik bangku yang ia tempati.
Sebuah tongkat, ya anak itu
kemudian berjalan ke arah pria tua yang duduk di sebelah Sammy dengan sebuah
tongkat yang menyangga badannya, wajahnya polosnya terlihat gembira, tak ada
rasa risih ataupun malu, seakan ia tak peduli jika ia berjalan dengan sebuah
tongkat di tangannya.
“Hi sayang, bagaimana pelayananmu
??” Ujar pria tua tersebut seraya memeluk cucunya, sambil mencium keningnya.
“Luar biasa...” ujar anak
tersebut seraya mengangkat tangan kanannya dengan bersemangat.
“Kakak pelayanan apa… ?? “ ujar
anak tersebut kepada Sammy
Sammy terdiam, lidahnya kelu, ia
tak tahu harus berkata apa. Pelayanan adalah hal yang jauh dari dirinya,
jangankan pelayanan, untuk ibadah saja ia tak mau, ia terlalu malu dengan
keadaan nya saat ini. Selama ini ia selalu sibuk mencari biaya untuk keperluan
kuliahnya, dan ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa yang membiayai
kuliahnya, ia kembali sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
disini, dan keluarganya di Indonesia.
Ia tak pernah bersyukur, ketika ia mendapatkan beasiswa, ia meyakini bahwa yang
ia dapat adalah karena hasil kerja kerasnya, ia lupa bahwa pasti ada peran
Tuhan disana.
“Kak… “ ujar anak itu pelan.
Sammy terbangun dari lamunannya,
ia melihat anak tersebut. Ia sekarang mengerti mengapa pria tua di sebelahnya
mengatakan padanya bahwa gadis kecil tersebut adalah cucu kebangaannya.
“Terima kasih ya.. “ ujar Sammy
seraya mengelus kepala gadis tersebut. Sammy bangkit dari tempat duduknya, ia
kembali berjalan ke depan gereja dan mengambil sekopnya. Wajahnya menatap ke
atas, ya.., ia bersyukur masih diingatkan melalui seorang gadis kecil dengan
segala kepolosan dan keterbatasannya Sekarang ia mengerti mengapa ia menjadi
pengurus gereja. Toh mungkin saja Tuhan menginginkannya agar ia kembali
mengingat-Nya dan lebih dekat dengan-Nya.
”Ya, Thx God for this Christmast…..”
ujarnya pelan,……
gbr : http://baltyra.com/2010/01/29/salju-di-mainz/
Komentar
Posting Komentar