Langsung ke konten utama

Berhenti Berfikir

  Belakangan ini saya mulai menganggap banyak orang yang gagal dalam berpikir, termasuk saya yang tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang yang jelas-jelas berstatus sebagai tersangka justru dibela oleh para pengikutnya, hingga ayahnya yang notabene seorang pemuka agama yang pastinya mempunyai nama baik dan tersohor dilingkungan tempat tinggalnya Minggu ini saya dibuat tidak habis pikir hingga gagal berpikir oleh berita pencabulan yang dilakukan disekolah yang notabene berbasis agama. Gilanya, yang melakukan pencabulan adalah anak seorang pemuka agama yang mungkin disegani diwilayah tersebut. Bahkan ada video yang beredar dimana pemuka agama tersebut meminta kepada polisi yang datang agar anaknya tidak ditangkap (lha ??). Keterkejutan saya tidak hanya sampai dititik itu. Beberapa hari kemudian diberitakan kalau kepolisian sampai harus mengepung pondok pesantren selama beberapa jam untuk melakukan penjemputan kepada tersangka, bahkan ada polisi yang sampai harus disiram air pan...

Melepas cita-cita untuk terus menginjak tanah ??


 “Jadi abis ini lulus lu mau apa ? “ 

Ada banyak hal yang berputar di kepala saya ketika di tanya mengenai hal ini. Ya, kuliah saya yang telatnya luar biasa ini sekur sukur akan berakhir maximal 1 tahun lagi, ada rencana di kepala, tapi jujur enggan juga saya utarakan kepada si penanya. Saya tahu mereka mungkin hanya akan tertawa dalam hatinya, melihat saya yang enggan realistis. 

Ya, realistis menjadi kata terakhir yang berkutat di kepala saya. Ada mimpi yang masih terus saya genggam hingga saat ini, ada asa yang terus saya pelihara walau sejujurnya hampir tidak mungkin ada. Saya ingin menjadi jurnalis, wartawan yang sukur sukur bisa naik sampai jadi pimpinan redaksi, hanya saja jika melihat kenyataannya, itu hal yang pasti sulit.

Dalam pandangan saya, jurnalis bukanlah pekerjaan yang mengenal jam kerja, belum lagi soal penghasilan yang tidak besar besar amat. Lebih tepatnya, dalam pandangan saya, menjadi jurnalis lebih kepada panggilan hati. Panggilan hati untuk mengabarkan kebenaran. 

Sementara saya, diumur saya yang sudah kepala 3, relaitanya adalah pahit. Tidak mungkin juga saya kerja tanpa jam kerja, ya iya, saya punya orang tua yang musti di jaga. Belum lagi jika nanti saya berkeluarga, saya sih ogah juga jika saya terus menerus kelayapan kerja hingga tidak punya waktu untuk keluarga saya. 

Bekerja dan berkuliah di bidang akuntansi yang berisi tentang angka dan jauh dari narasi dan perspektif berita bukanlah impian saya. Walaupun sejujurnya saya juga lupa, mungkin saya pernah mendoakan dan berharap pekerjaan ini. Yang saya ingat saya yang dulu pernah bilang pada Bapak Yang Maha Baik kalau kerja kantoran adalah impian saya, dan saya berharap bisa diterima kerja di kantor saya yang pertama. 

Dan Dia mengabulkannya, saya jadi mahluk kantoran. 

Ketika pertanyaan yang saya tuliskan di paragraf paling atas terlontar, saya cukup bergumul berat. Ada sedikit tangis yang lepas, ketika saya harus melihat realita bahwa cita-cita saya bukanlah hal yang realistis, bahwa saya harus bisa hidup dengan realita, bukan hidup dalam mimpi yang terus beterbangan di kepala saya. 

Ini kehidupan, bukan angan. 

Berproses memang menyakitkan, sama sakitnay seperti terlihat baik-baik saja, padahal banyak hal yang tidak baik dalam diri saya, dalam hidup saya, atau dalam lingkungan saya. 

Pergumulan besar ? IYA. 

Tapi inilah kehidupan, kadang menyebalkan. Saya harus mengingatkan diri sendiri kalau yang saya injak adalah tanah, bukan awan, dan bukan juga angan. 

Tanah, bumi dan segala bentuknya, baik dan buruknya

Jakarta, Minggu 31 Januari 2021


gbr : 
1. https://www.dokter.id/berita/citacita-harus-setinggi-langit-ini-6-alasan-mengapa-anda-harus-memiliki-citacita-yang-luar-biasa

2. http://senjalawu.blogspot.com/2010/12/layang-layang.html

Komentar