Ada banyak hal yang berputar di kepala saya ketika di tanya mengenai hal ini. Ya, kuliah saya yang telatnya luar biasa ini sekur sukur akan berakhir maximal 1 tahun lagi, ada rencana di kepala, tapi jujur enggan juga saya utarakan kepada si penanya. Saya tahu mereka mungkin hanya akan tertawa dalam hatinya, melihat saya yang enggan realistis.
Ya, realistis menjadi kata terakhir yang berkutat di kepala saya. Ada mimpi yang masih terus saya genggam hingga saat ini, ada asa yang terus saya pelihara walau sejujurnya hampir tidak mungkin ada. Saya ingin menjadi jurnalis, wartawan yang sukur sukur bisa naik sampai jadi pimpinan redaksi, hanya saja jika melihat kenyataannya, itu hal yang pasti sulit.
Dalam pandangan saya, jurnalis bukanlah pekerjaan yang mengenal jam kerja, belum lagi soal penghasilan yang tidak besar besar amat. Lebih tepatnya, dalam pandangan saya, menjadi jurnalis lebih kepada panggilan hati. Panggilan hati untuk mengabarkan kebenaran.
Sementara saya, diumur saya yang sudah kepala 3, relaitanya adalah pahit. Tidak mungkin juga saya kerja tanpa jam kerja, ya iya, saya punya orang tua yang musti di jaga. Belum lagi jika nanti saya berkeluarga, saya sih ogah juga jika saya terus menerus kelayapan kerja hingga tidak punya waktu untuk keluarga saya.
Bekerja dan berkuliah di bidang akuntansi yang berisi tentang angka dan jauh dari narasi dan perspektif berita bukanlah impian saya. Walaupun sejujurnya saya juga lupa, mungkin saya pernah mendoakan dan berharap pekerjaan ini. Yang saya ingat saya yang dulu pernah bilang pada Bapak Yang Maha Baik kalau kerja kantoran adalah impian saya, dan saya berharap bisa diterima kerja di kantor saya yang pertama.
Dan Dia mengabulkannya, saya jadi mahluk kantoran.
Ketika pertanyaan yang saya tuliskan di paragraf paling atas terlontar, saya cukup bergumul berat. Ada sedikit tangis yang lepas, ketika saya harus melihat realita bahwa cita-cita saya bukanlah hal yang realistis, bahwa saya harus bisa hidup dengan realita, bukan hidup dalam mimpi yang terus beterbangan di kepala saya.
Ini kehidupan, bukan angan.
Berproses memang menyakitkan, sama sakitnay seperti terlihat baik-baik saja, padahal banyak hal yang tidak baik dalam diri saya, dalam hidup saya, atau dalam lingkungan saya.
Pergumulan besar ? IYA.
Tapi inilah kehidupan, kadang menyebalkan. Saya harus mengingatkan diri sendiri kalau yang saya injak adalah tanah, bukan awan, dan bukan juga angan.
Tanah, bumi dan segala bentuknya, baik dan buruknya
Jakarta, Minggu 31 Januari 2021
Komentar
Posting Komentar